Kampung Naga Bukti Kesederhanaan di Zaman Modern


Listrik dan barang-barang elektronik merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia masa kini. Namun berbeda dengan para warga yang tinggal di sebuah perkampungan Tasikmalaya, Jawa Barat yaitu Kampung Naga. Menurut warga Kampung Naga, listrik dan barang elektronik bukanlah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Nyatanya di perakampungan ini tidak dilengkapi dengan listrik dan juga tidak ada barang-barang elektronik.

Ketika mendengar kata ‘Kampung Naga’ biasanya orang mungkin berfikiran bahwa ada hubungannya dengan seekor naga, tetapi naga yang dimaksud dalam nama kampung ini bukanlah seekor binatang. Sebenarnya tidak ada orang yang tahu persis mengapa dinamakan Kampung Naga, tetapi setelah diamati lebih lagi oleh para warga dan peneliti maka ditemukan lah makna Naga yang dimaksud, kata Naga merupakan kepanjangan dari “dinagawir” yang berarti kampung di sebuah tebing.

Kampung Naga merupakan kampung yang kebutuhan hidupnya masih bergantung pada alam. Kearifan lokal yang ada merupakan salah satu hal yang paling menonjol di Kampung ini. Kampung yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat ini masih sangat memegang teguh kepercayaan peninggalan para leluhurnya. Salah satunya adalah mengenai jumlah rumah yang terdapat di Kampung ini.

Jumlah rumah yang ada di Kampung Naga ini hanya terdapat 112 rumah. Para warga pun tidak diperkenankan untuk membangun rumah baru atau menambah jumlah rumah yang ada. Jika para warga ingin membangun rumah, maka harus membangun rumah tersebut diluar tanah atau wilayah kampung tersebut. Satu rumah hanya boleh diisi oleh satu kepala keluarga saja. Jadi, untuk anak yang sudah menikah tidak diperkenankan untuk tinggal bersama orang tuanya.

Bentuk rumah di Kampung Naga, Tasikmalaya (20/12/17). -Imanuel Eka Pranata-

Karena lahan yang sudah terbatas dan tidak di perkenankan untuk membangun atau menambah jumlah rumah, maka orang yang sudah menikah diharuskan untuk tinggal diluar Kampung Naga. Namun ada pula yang memiliki jumlah rumah sebanyak dua atau tiga rumah di kampung ini. Biasanya mereka menyiapkan rumah tersebut bagi anak-anaknya atau cucunya yang nanti akan menikah, sehingga mereka masih bisa tinggal di kampung tersebut.

“Rumah disini pasti ada jaraknya, ga berdempetan seperti di Kota,” ujar Ibu Ade sebagai warga Kampung Naga

Bahan yang digunakan oleh rumah di kampung ini pun masih alami. Seluruh rumah yang ada merupakan rumah panggung yang dibuat dari kayu atau bambu. Atapnya pun terbuat dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang. Maka dari itu, seluruh masyarakat Kampung Naga tidak ingin adanya listrik. Karena bahan rumah mereka yang mudah terbakar, para warga memilih untuk tidak memasang listrik agar terhindar dari adanya konsleting.
 “Ya nanti kalau ada konslet sama listriknya, Kampung Naga bisa habis terbakar dalam sekejap,” ujar Habib Naga sebagai keponakan Kuncen Kampung Naga saat ditemui di rumahnya.

Untuk penerangan, warga Kampung Naga menggunakan petromax. Karena menurut mereka petromax adalah alat penerangan yang paling aman bagi bahan-bahan rumah mereka. Dan ada pula alasan lain mengapa Kampung ini tidak dilengkapi dengan listrik.

Kondisi malam hari di salah satu rumah warga Kampung Naga,Tasikmalaya
menggunakan penerangan lampu petromax (19/12/17). -Imanuel Eka Pranata-

“Kan warga sini keadaan ekonominya tidak sama semua, nanti kalau ada listrik yang mampu beli TV, kulkas, dan lain-lain bisa menimbulkan kecemburuan sosial antar warganya,” ujar Habib Naga.

Warga Kampung Naga masih sangat menjunjung tinggi nilai gotong royong, maka dari itu sangat dihindarkan segala sesuatu yang bisa menimbulkan ke cemburuan sosial. Mereka takut nantinya nilai gotong royong yang selama ini sudah menjadi tradisi bisa hilang karena saling cemburu dan tidak mau lagi untuk saling membantu antar warganya.
Ada pula kedudukan yang dimiliki oleh warga Kampug Naga :
1.    Kuncen, merupakan pemangku agama dan pemimpin upacara adat.
2.    Lebe, orang yang sangat dihormati dalam hal keagamaan.
3.    Punduh, merupakan orang yang ditugaskan untuk mengayomi masyarakat

Kedudukan ini pun tidak bisa dimiliki oleh sembarangan orang. Tidak ada pemilihan secara khusus untuk kedudukan ini, biasanya kedudukan seperti ini terjadi secara turun temurun. Salah satu anggota keluarga yang akan diturunkan untuk memiliki kedudukan harus mendapatkan ilham terlebih dahulu atau biasa disebut wangsit oleh warga disana. Jadi, kedudukan di kampung ini bisa disamakan dengan sebuah kerajaan karena terjadi secara turun temurun.

Selasa, rabu, dan sabtu merupakan hari menyepi bagi warga disana. Yang dimaksud menyepi di kampung ini bukanlah seperti kepercayaan umat Hindu. Menyepi yang dijalankan oleh warga Kampung Naga adalah dalam sehari-hari mereka tidak diperkenankan untuk menceritakan mengenai adat istiadat Kampung Naga kepada orang luar. Jadi, tidak diperkenankan pula adanya orang yang mau berkunjung para hari-hari tersebut.

Warga Kampung Naga sedang memotong kayu sebagai persediaan kayu bakar
untuk memasak (20/12/17). -Imanuel Eka Pranata-

Masih bergantung dengan alam, ya kata kata itu sangat cocok menggambarkan kehidupan para warga di Kampung Naga. Cara mereka memasak masih menggunakan tungku yang membutuhkan cukup banyak kayu bakar, kayu bakar ini didapatkan dari hutan yang berada disekitar Kampung Naga. Warga pun menanam padi sendiri untuk kehidupan mereka. Menurut Ibu Ade, beras hasil mereka bertani untuk mereka konsumsi terlebih dahulu demi kehidupan mereka, jika ada lebih baru akan mereka jual keluar.
Warga Kampung Naga, Tasikmalaya saat sedang bertani (20/12/17). -Imanuel Eka Pranata-

“Lebih baik kami tidak punya uang daripada tidak punya beras, dan sekarung beras lebih berharga dari pada seikat uang,” menurut Ibu Ade saat sedang mengaduk nasi di rumahnya.

Kehidupan mereka sangat bergantung pada bertani karena itu mata pencaharian pokok di Kampung Naga adalah sebagian besar seorang petani, biasanya mereka bekerja di sawah milik orang bukan milik sendiri. Selain petani, warga disana pun memiliki mata pencaharian sampingan, yaitu membuat kerajinan tangan. Banyak kerajinan yang mereka buat, seperti tas rajutan, gelang, topi, dan kerajinan lainnya.

Di Kampung Naga ini memiliki tempat yang dianggap sakral oleh warga disana yaitu Hutan Larangan. Pengunjung yang datang ke Kampung ini sangat dilarang untuk masuk dan mengambil gambar tempat sakral tersebut. Tempat yang dianggap sakral itu merupakan hutan lindung yang dilestarikan dan juga terdapat makam dari para leluhur Kampung Naga.

Orang yang dapat masuk kedalam tempat sakral tersebut adalah sang juru kunci Kampung tersebut. Namun, sang juru kunci pun tidak bisa sembarangan masuk. Juru kunci harus menjalankan ritual terlebih dahulu dan menggunakan pakaian serba putih.

“Budaya itu milik bangsa, tetapi adat milik kelompok,” ujar Habib Naga saat menegaskan mengapa pengunjung dilarang masuki dan mengambil gambar Hutan Larangan.

Warga Kampung Naga yakin, jika mereka hidup dalam kesederhanan dan patuh pada adat istiadat itu akan membuat warga Kampung Naga hidup damai dan jauh dari malapetaka.


Kelompok 1 :

1. Yolanda Vania G. – 00000026532
2. Celine – 00000026513
3. Indra Sulistiyanto – 00000026514
 4. Imanuel Eka Pranata – 00000026392
5. Virgilery Levana – 00000026505 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Penting Menikahi Orang Tionghoa

Keindahan Bulan Purnama Membawa Kesucian Bagi Umat Hindu

Perbandingan Pendidikan Jepang dan Indonesia